Minggu, 05 Oktober 2008

Kassian Cephas Fotografer Pertama Indonesia






Kassian Cephas lahir tanggal 15 Februari 1844, beliau asli pribumi yang kemudian
diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft.
Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.

Nama Kassian Cephas tidak banyak dikenal orang sampai foto-foto karyanya
dipamerkan di kraton mulai 11 Juni 1999 yang lalu di Bale Bang, Kraton Yogyakarta.
Bahkan mungkin para mahasiswa yang kebetulan pernah mempelajari fotografi di bangku
kuliah kurang begitu familiar dengan namanya. Literaratur-literatur sejarah Indonesia pun
tidak pernah menyebut-nyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai
fotografer profesional, atau menurut bahasa Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang
menyusun buku "Cephas, Yogyakarta: photography in the Service of the Sultan" )
sebagai salah satu pionir modernitas. Namanya memang tidak seharum dan melekat
di benak banyak orang seperti nama Wahidin Sudirohusodo atau KH. Dewantara yang
sama-sama berasal dari Yogyakarta dan hidup satu jaman dengannya.

Apa yang menarik dari foto-foto karya Cephas? Dari foto-foto yang dipajang di
Bale Bang dan di buku karya Knaap tampak bahwa Cephas memotret banyak hal:
sultan dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar kraton, upacara garebeg di alun-alun,
iring-iringan benda-benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, pemandangan kota Yogya
jaman itu saat jalan raya sepanjang Malioboro sampai depan Benteng Vredeberg masih
sepi dan dipenuhi pohon-pohon besar di kiri-kanannya, sudut-sudut kota yang menurutnya
menarik dan sebagainya.

Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an.
Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah
sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar
fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.

Publikasi luas foto-foto Cephas mulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat
buku-buku tentang kebudayaan Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta.
Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg's te Ngajogjakarta,
karya-karya foto Cephas juga ada disitu.

Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan jaman
Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh
Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta.
Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem,
anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas
memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.

Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi
Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian.
Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya.
Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian).
Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Bahkan tiket nonton di Bioskop Al Hambra
(sekarang Bioskop Indra), bioskop termahal waktu itu, pada tahun 1946 pun hanya 5 gulden,
waktu itu setara 2-3 kilogram beras. Pada bulan Maret 1946, harga tiket Al Hambra naik jadi 10 gulden. Tapi masih tetap sedikit dibanding dengan gaji Cephas.

Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern,
itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa
menjadi anggota istimewa "Batavian Society" yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan
menjadi anggota KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology) atas dedikasinya
memotret untuk penelitian Archaeological Union. Ia benar-benar diterima menjadi anggota
KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulangkorn dari Thailand berkunjung ke
Yogya tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata.
Bahkan Ratu Wilhelmina memberi penghargaan berupa medali emas
Orange-nassau kepada Cephas pada tahun 1901.

Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status
"gelijkgesteld met europeanen" atau "equivalent to Europeans"
(sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares.

Dunia Kassian Cephas memang dunia yang indah bagi ukuran orang pribumi.
Waktu itu penjajahan sudah berjalan hampir 300 tahun. Orang Belanda sudah menjadi
seperti bagian sehari-hari bangsa Jawa, bangsanya Kassian Cephas.
Dan Cephas termasuk sedikit orang yang persis berada di tengah-tengahnya.
Menikmati seluruh keistimewaan pergaulan sosial dan penghargaan dari masyarakat elit
Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya kenapa karya-karya foto
Cephas berisi suasana yang menyenangkan dan indah. Bukan lantaran ia adalah fotografer
sultan dan juga bukan karena ia diminta untuk membuat foto-foto seperti itu oleh
pemesan fotonya. Tapi mungkin karena "world view" Kassian Cephas sendiri memang indah,
dunia sehari-harinya indah dan menyenangkan,
maka lensa kameranya pun hanya mampu meneropong suasana yang indah.

Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di The Jakarta Post, 24 Juni 1999 dengan judul "Classic Photographer Cephas Presents Beautiful Past".
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kassian_Cephas"

3 komentar:

Rintjez mengatakan...

Wah gilaa...keren banget nih artikelnya! Thanks for sharing yah! Kalo ga mampir ke blog kamu, aku bakal ga tau apa2..hehehe!

By the way... perkiraan anda salah! Saya bukan seorang photographer propesional. Saya ga ngerti apa-apa soal foto memoto. Asal jepret doang :) untungnya, banyak juga hasil jepretannya yang keren..hehehe... LUCKY me!

mencobahidup mengatakan...

ah enggak gila saya masih normal

adhi27prakosa mengatakan...

baru kali ini dengar kasian chepas, btw di jogja rumah dia dimana ya?pasti sisa sisa orang kaya nih anak keturunannya